22 Desember, 2008

Burung Kakatua Putih Terancam Punah

Indonesia dikenal sebagai surga bagi burung dimana ada sebanyak 1539 jenis burung di Indonesia, dan 85 jenis diataranya merupakan jenis burung paruh bengkok. Sebanyak 14 jenis burung paruh bengkok tersebut yang saat ini telah dilindungi karena masuk dalam katagori terancam punah.

Sebagian besar burung paruh bengkok seperti Nuri dan Kakatua hidup di kawasan wallacea dan Indonesia Bagian Timur seperti Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Papua merupakan satwa endemik seperti kakatua putih (Cacatua alba), yang hanya ditemukan di Maluku Utara.

Namun keberadaan kakatua putih di alam saat ini menghawatirkan karena penangkapan untuk diperdagangkan dan degradasi hutan baik untuk lahan perkebunan ataupun pertambangan. Dimana setiap tahunnya ada sebanyak 100 ekor kakatua putih dieperdagangakan di pasar burung di Pulau Jawa dan Bali.

Hasil investigasi ProFauna tahun 2001 mencatat bahwa angka penangkapan kakatua putih setiap tahunnya ratarata mencapai sekitar 550 ekor, yang ditangkap dari Pulau Halmahera untuk diperdagangkan Penangkapan burung kakatua putih ini masih terus berlangsung di Maluku Utara karena lemahnya upaya penegakan hukum yang menyebabkan burung ini telah hilang dari habitatnya di beberapa desa di Pulau Halmahera.

Tingginya penangkapan tersebut mengkibatkan kepunahan loka di beberapa wilayah Pulau Halmahera, untuk itu ProFauna Indonesia menyerukan agar burung kakatua putih untuk segera masuk dalam daftar satwa dilindungi. Hal ini karena sudah memenuhi kriteria sesuai PP no 7 tahun 1999 tentang pengawtan jenis tumbuhan dan satwa liar yaitu jumlah populasi kecil, penurunan populasi yang tajam dan sebarannya terbatas (endemik).

Habitat Orangutan Terancam Punah Logging

peb__habitat_orangutan_terancam_punah.jpg
Populasi Orangutan pada awal abad ke 20 berjumlah ratusan ribu. Selama abad terakhir meningkatnya penebangan secara besar-besaran dan berkembangannya usaha perkebunan di Kalimantan dan Sumatra secara signifikan menyebabkan berkurangnya habitat dan populasi/jumlah mereka. Tindakan yang sangat tampak pengaruh/dampaknya pada penurunan jumlah mereka tersebut adalah pembabatan hutan hutan primer beserta ekosistimnya termasuk didalamnya pemetaan hutan-hutan tersebut untuk dijadikan daerah usaha pemotongan kayu dan termasuk didalamnya pembabatan hutan guna membangun jalan masuk ke daerah usaha kayu tadi.

Estimasi saat ini bahwa selama 20 tahun terakhir orangutan sudah kehilangan 80% hutan tempat mereka tinggal. Sekitar 50.000 ekor orangutan ditemukan hidup terpencar-pencar di pulau Kalimantan dan hanya 7000 orangutan yang tinggal di 12 unit habitat tertentu di Sumatra Utara. Walaupun mereka dilindungi oleh undang-undang, namun diperkirakan bahwa 4-5000 ekor orangutan mati setiap tahunnya disebabkan oleh kehilangan tempat tinggal, pembunuhan secara ilegal, dan perdagangan gelap anak orangutan sebagai binatang piaraan eksotik. Dilaju hilangnya tempat tinggal mereka dan kematian, spesies orangutan dihadapkan akan kenyataan akan punah dalam kurun waktu 10 hingga 20 tahun mendatang.

Ancaman-ancaman sekarang terhadap habitat orangutan termasuk:

Perkebunan Kelapa Sawit:
Dramatisnya tingkat perkembangan pembangunan perkebunan minyak kelapa sawit merupakan ancaman yang sangat berarti bagi kelangsungan hidup orangutan saat ini. Budaya dari pembangunan usaha perkebunan Kelapa Sawit sangat banyak dampak negativenya bagi kehidupan orangutan. Awalnya hutan tempat mereka tinggal dibabat habis tanpa sisa dan lahan tersebut kemudian dijadikan perkebunan. Mereka sering membakar hutan (secara ilegal) untuk dapat dengan cepat membuka lahan dan memanfaatkan sisa pembakaranya sebagai pupuk. Kebakaran yang mereka sengaja tersebut mengakibatkan kehancuran hidup marga satwa disekitarnya dan juga berdampak jelek untuk kesehatan manusia. Pada akhirnya, orangutan ini dibunuh disaat mereka sedang mencari makanan di didaerah perkebunan baru maupun yang sudah besar ini karena mereka dianggap sebagai hama.

Indonesia dan Malaysia adalah dua negara produsen minyak sawit dan pohon palem biji yang terbesar. Guna memenuhi permintaan minyak sayur yang terus meningkat dan sangat serba guna ini ( bisa dipakai di semua produk dari pasta gigi, selai kacang, sereal, kosmetik, krayon, lilin, makanan kecil dan bisa dipakai untuk bio-disel), jutaan hektare hutan harus dibabat , ditanami dan dijadikan komplek perkebunan. Menurut Pusat Ilmu Pengetahuan untuk Kepentingan Umum (CSPI), sejak 1970s, di Indonesia tanah yang ditanami dengan kepala sawit telah berkembang dari lebih 30 kali lipat hingga sekarang di atas 3 juta hektare. Di Malaysia sendiri, tanah yang dijadikan kebun kepala sawit meningkat 12-kali lipat menjadi 3.5 juta hektare.

Rencananya ialah menambah produksi minyak sawit di seluruh Indonesia dan Malaysia, terutama di daerah yang secara biologis peka atau beraneka ragam habitatnya. Salah satu tindakan kontroversial yang diambil pemerintah Indonesia yaitu mengubah hampir 2 juta hektare (setengah ukuran Holland) hutan murninya di sepanjang perbatasan Sarawak dan Kalimantan Indonesia menjadi perkebunan kelapa sawit. Penelitian yang dilakukan oleh oleh organisasi ilmiah seperti Center for International Forestry Research (CIFOR) menyebutkan bahwa sample tanah dari jantung Kalimantan tersebut tidak cocok untuk dijadikan perkebunan Kelapa sawit.

Namun, ratusan juta dolar investasi telah dijanjikan pada investor dari Cina dan lagi kebutuhan pemerintah dalam membuat lapangan kerja baru telah membuat rencana ini menjadi perhatian serius dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Sejumlah penelitian dan laporan telah dibuat mengenai dampak buruk usaha perkebunan kelapa sawit yang mengancam kehidupan orangutan, margasatwa lainnya, lingkungan hidup, dan kesehatan manusia, yang mana laporannya dapat dilihat pada web sebagai berikut:

http://www.cspinet.org/new/pdf/palm_oil_final_5-27-05.pdf
http://www.foe.co.uk/resource/reports/oil_for_ape_summary.pdf
http://www.foe.co.uk/resource/reports/oil_for_ape_full.pdf

Salah satu laporan terbaru mengenai prilaku negatif dari pekerja Perkebunan kelapa sawit yang membunuh orangutan secara brutal dan tidak manusiawi (dapat di klik disini)
Namun akhirnya, ada juga usaha Produsen minyak kelapa sawit dan masyarakat dalam menanggapi keprihatinan dampaknya terhadap lingkungan dan masa depan industry, demi usaha membuat usaha minyak sawit tersebut menjadi usaha yang berkelanjutan. Tindakan apa saja yang di maksud dan bagaimana hal tersebut bisa telah menjadi topick pembicaraan konfrensi Usaha Kelapa Sawit yang berkelanjutan (http://www.sustainable-palmoil.org ).

Usaha Penebangan Kayu— legal dan illegal
Usaha penebangan kayu merupakan ancaman nyata lainnya. Sebelum meluasnya usaha perkebunan kelapa sawit, usaha penebangan kayu yang sah (berdasarkan konsesi yang diberikan pemerintah)atau pun liar dan penebangan ilegal tanpa konsesi dan dilakukan oleh pencuri, adalah merupakan ancaman utama bagi kelangsungan hidup orangutan. Permintaan dunia untuk kayu keras memicu pertumbuhan industri kayu balok dan tripleks selama lebih 30 tahun lamanya. Selama dasawarsa belakangan ini, terutama seelah lengsernya Presiden Soeharto, perkembangan usaha penebangan kayu ilegal di sekitar hutan lindung, dan di banyak taman nasional, termasuk didalamnya hutan konsensi menjadi merajalela. Pengusaha penggergajian sering membeli dan memproduksi kayu-kayu legal maupun illegal. Diperkiran 70% lebih dari produk-produk kayu yang di ekspor ke luar negri adalah kayu illegal dari pengusaha liar.

Usaha penebangan kayu di Indonesia benar-benar tidak dapat dipertahankan. Usaha penebangan kayu seperti ini tidak hanya secara membabi buta menghabiskan pohon tempat bergantung orangutan, namun juga mengancam keberadaan ribuan tanaman, burung, mamalia dan serangga lainnya. Akhirnya ancaman dari usaha yang tidak berkelanjutan ini membahayakan mata pencaharian bagi masa depan generasi muda dan binatang yang hidupnya bergantung pada hutan untuk tetap bisa bertahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menetapkan pemberatasan terhadap usaha penebangan kayu liar dan menjadikan usaha ini sebagai prioritas utama dalam usaha pelestarian lingkungan.

Penebangan liar tak hanya menurunkan komunitas orangutan dan habitat margasatwa lainnya, tapi usaha ini juga merenggut milyaran dolar dari pendapatan negara dan juga menghalangi usaha Negara untuk mempertahankan kelestarian hutan demi masa depan generasi muda nantinya.

Penambangan Emas Liar
Di Indonesia, usaha penambangan mengakibatkan 10% dari kerusakan lingkungan hutan nasional. Metode penambangan terbuka (open pit) pertambangan emas mengubah hutan hujan lebat menjadi gurun tandus dan mati, di mana tidak ada lagi tumbuhan bisa hidup disana. Undang-undang peraturan Indonesia No. 41 tahu 1999 melarang pertambangan terbuka seperti itu dilakukan di hutan lindung namun 90% penambangan terbuka itu sendiri dilakukan di hutan lindung.

Disamping menyebabkan hilangnya area hutan, erosi dan limbah dari sisa pertambangan membuang particle dan membuat sungai menjadi keruh dan coklat. Lebih dari itu, air raksa yang dipergunakan dalam proses penambangan untuk membentuk emas memasuki aliran sungai, membunuh ikan dan margasatwa lain.

Berburu
Berburu dan menjadikan orangutan sebagai bahan makanan tentu sudah menjadi masalah dari dahulu hingga sekarang. Orangutan bergerak sangat lambat membuat mereka menjadi sasaran yang sangat empuk bagi para pemburu. Perburuan tradisional yang dilakukan oleh orang pribumi sendiri telah membuat para pribumi untuk bertanggung jawab atas kepunahan sejumlah binatang lokal. Saat ini di Sarawak, Orangutan sebagian besar hanya ditemukan di daerah di mana mereka menganggap membunuh orangutan adalah sangat tabu. Orangutan dibunuh atau dilukai oleh pemilik perkebunan (baca diatas) dan oleh petani yang menganggap orangutan menjadi hama. Dari Aceh sendiri ada laporan dari masyarakat mengenai elemen militer yang memburu orangutan sebagai olahraga selama terjadinya konflik saparatis disana.

Perdagangan binatang piaraan illegal
Memiliki orangutan sebagai binatang piaraan baik itu di Malaysia maupun Indonesia selama dasawarsa adalah hal yang illegal. Sebagai dampak dari larangan tersebut, bayi orangutan secara diam-diam dibawa ke dalam perdagangan margasatwa gelap.
Disaat pembabatan hutan, para pekerja sering sekali menemukan orangutan. Kebanyakan dari orangutan yang ditemukan tersebut adalah ibu dengan bayi yang masih digendong. Binatang ini terpisah dari perkumpulan mereka, karena ketakutan dan tidak mempunyai tempat untuk pergi mereka pun tinggal ditanah. Yang pasti, orangutan betina tersebut akhirnya dibunuh secara brutal oleh para pekerja tidak mau tau dan tamak guna merebut bayinya untuk dapat dijual kepada pedagan binatang yang dilindungi.

Kebanyakan dari bayi-bayi tersebut tidak selamat sampai di Jakarta, Bali atau lokasi internasional lainnya dikarena jalan yang ditempuh sangatlah sulit dan juga disebabkan oleh perawatan yang buruk, penyakit, luka, dan trauma psikologis. Dari 6-8 ekor orangutan mati sebagai akibat dari cara penangkapan, alat angkutan, dan perawatan yang tidak manusiawi tadi, diperkiran hanya satu anak orangutan diantaranya yang sampai di pasaran.

Kebakaran hutan
Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun1997 dan 1998 menyebabkan kerusakan yang hebat terhadap hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatra dan juga banyak membunuh orang hutan, meninggalkan anak-anak mereka tanpa orang tua dan menelantarkan ratusan orangutan lainnya. Dihutan yang lembab dan masih norml biasanya embun yang ada dapat memadamkan api dari sisa akibat kebakaran petani tradisional. Gabungan factor-faktor yang membuat kebakaran besar menghancurkan hutan di ndonesia ialah hutan menjadi tidak kering lagi akibat sisa-sisa serpihan kayu kering dari penebangan liar; selain itu perusahaan minyak sawit juga menambah risiko kebakaran sewaktu membuka lahan dengan cara membabat hutan; dan juga badai El Nino adalah factor lainnya yang mengakibatkan musim kering lebih lama.

Sumber: http://www.orangutanrepublik.org/ourei/index.php?option=com_content&task...